Pertanyaan:
Bagi wanita muslimah di
Indonesia, apakah wajib menutup auratnya seperti yang termaktub dalam al-Qur’an
surat an-Nur ayat 30-32? Seandainya wajib, apakah kadar kewajibannya sama
dengan kadar kewajiban melaksanakan shaolat lima waktu?
Dan jika tidak wajib seperti
dalam surat an-Nur tersebut diatas, aurat-aurat manakah yang harus ditutup bagi
wanita Indonesia? mohon dijelaskan secara rinci ayat tersebut.
Jawaban:
Para ulama hingga kini masih
berbeda pendapat mengenai batas-batas aurat wanita muslimah, baik muslimah
Indonesia maupun muslimah bukan Indonesia. Yang demikian itu, karena terdapat
perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur (24): 30-31.
Sebelum menjawab pertanyaan
saudara, kami kutipkan lebih dahulu ayat-ayat yang membahas batas-batas aurat,
baik yang terdapat pada surat an-Nur maupun yang terdapat pada surat lainnya
yang ada munasabahnya. Ayat-ayat yang kami maksudkan ialah:
1. قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ(30)
2.
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ
مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ
النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ
زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(31)
3.
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا
يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(59)
Artinya:
1. Katakanlah kepada
kaum mu’minin: Hendaklah mereka menahan
pandangannya dan menjaga kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. (an-Nur
(24): 30)
2. Katakanlah kepada
para wanita yang beriman: Hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya, kecuali yang biasa
nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya dan
janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah
mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (an-Nur (24);
31)
3. Hai Nabi katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang
mu’min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ketubuhnya. Yang demikian itu
supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang. (al-Ahzab (33): 59)
Untuk memahami ayat-ayat
tersebut, perlu memahami lebih dahulu dua kata kunci yaitu: ‘aurah dan jilbab.
‘Aurah, menurut bahasa
berarti: segala sesuatu yang harus ditutupi; segala sesuatu yang menjadikan
malu apabila dilihat. (Luis Ma’luf, dibawah art. ‘awira). Menurut
istilah, ‘aurah ialah anggota badan manusia yang wajib ditutupi, dan
haram dilihat oleh orang lain, kecuali orang-orang yang disebutkan pada surat
an-Nur (24): 31. Dalam bahasa Indonesia, ‘aurah disebut dengan istilah
aurat, dan selanjutnya dalam paparan ini digunakan istilah tersebut.
Jilbab, berasal dari
kata jalbaba yang berarti memakai baju kurung. Para ulama berbeda
pendapat mengenai arti jilbab. Sebagian ulama mengartikannya baju
kurung; sedang ulama lainnya mengartikannya baju wanita yang longgar yang dapat
menutupi kepala dan dada. Al-Asy’ary berpendapat bahwa jilbab ialah baju yang
dapat menutupi seluruh badan. Ulama lainnya berpendapat, bahwa jilbab ialah
kerudung wanita yang dapat menutupi kepala, dada, punggung. (Ibnu Manzur, Lisan
al-Arab, dibawah art. jalaba). Menurut Ibnu Abbas, jilbab ialah jubah
yang dapat menutup badan dari atas hingga ke bawah. (al-Qasimy, XIII: 4908).
Menurut al-Qurtuby, jilbab ialah baju yang dapat menutup seluruh badan.
(al-Qurtuby, VI: 5325).
Dari
penjelasan tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa jilbab mempunyai dua
pengertian:
1.
Jilbab ialah kerudung yang
dapat menutup kepala, dada dan punggung yang biasa dipakai oleh kaum wanita.
2.
Jilbab ialah semacam baju
kurung yang dapat menutup seluruh tubuh, yang biasa dipakai kaum wanita.
Jika kedua pengertian tersebut digabungkan, maka yang
dimaksud dengan jilbab ialah: pakaian wanita yang terdiri dari kerudung dan
baju kurung yang dapat menutup seluruh auratnya. Ayat 30 – 31 an-Nur (24), tergolong ayat Madaniyah,
menurut al-Muhaayimiy, seluruh ayat dari surat an-Nur adalah Madaniyah,
sedang al-Qurtuby mengecualikan ayat: Ya ayyuhalladziina aamanuu
liyasta’zinkum…(58) adalah Makkiyah. (al-Qasimy, 1978, XII:107).
Sebab nuzul kedua ayat tersebut menurut suatu riwayat
adalah sebagi berikut:
a.
Menurut riwayat yang ditakhrijkan
oleh Ibni Mardawaih, dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata: Pada masa
Rasulullah saw, ada seorang berjalan di suatu jalan di Madinah, kemudian dia
melihat seorang wanita, dan wanita itupun melihatnya, lalu syaitanpun
mengganggu keduanya sehingga masing-masing melihatnya karena terpikat. Maka
ketika laki-laki tersebut mendekati suatu tembok untuk melihat wanita tersebut,
hidungnya tersentuh tembok hingga luka. Lalu ia bersumpah: Demi Allah saya
tidak akan membasuh darah ini hingga bertemu Rasulullah saw dan memberi tahu
kepadanya tentang masalahku. Kemudian ia datang kepada Rasulullah dan
menceritakan peristiwanya. Kemudian bersabdalah beliau: “Itu adalah balasan
dosamu” lalu turunlah ayat: قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا
مِنْ أَبْصَارِهِمْ (as-Siyutiy, t.t., ad-Durrul Mansur, V:
40).
b.
Menurut riwayat yang ditakhrijkan
oleh Ibnu Kasir, dari Muqatil ibni Hibban, dari Jabir ibni Abdillah al-Ansariy,
ia berkata: “Saya mendengar berita bahwa Jabir ibni Abdillah al-Ansariy
menceritakan, bahwa Asma’ binti Marsad, ketika berada di kebun kurma miliknya,
datanglah kepadanya orang-orang wanita dengan tidak memakai izar (kain),
sehingga tampaklah gelang kaki mereka dan dada mereka. Maka berkatalah Asma’:
Ini tidak baik. Kemudian Allah menurunkan firmannya: ...وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ (as-Siyutiy, 1954:
Lubab an-Nuqul:161).
Sekalipun ayat tersebut diturunkan karena sebab
tertentu, namun ayat tersebut berlaku untuk umum, yaitu seluruh kaum mu’minin.
Allah memerintahkan kepada kaum mu’minin agar menahan
pandangannya terhadap wanita-wanita yang bukan mahramnya, dan melarang
memandang kecuali hanya bagian yang diperbolehkan memandangnya. Juga
memerintahkan agar menjaga farjinya dari perzinahan dan menutup auratnya
hingga tidak terlihat oleh siapapun, sehingga hatinya menjadi lebih bersih da
terjaga dari kema’siatan. Sebab pandangan mata dapat menanamkan syahwat dalam
hati, dan seringkali syahwat dapat mengakibatkan kesusahan yang sangat panjang.
Apabila dengan tidak sengaja memandang sesuatu yang haram, maka hendaklah
segera memalingkan pandangannya, dan jangan mengulanginya dengan pandangan yang
penuh syahwat, sebab Allah Maha Mengetahui.
Allah tidaklah hanya memberi peringatan kepada kaum
mu’minin, melainkan juga kepada kaum mu’minat. Bahkan tidak hanya melarang
memandang hal-hal yang haram, melainkan juga melarang menampakkan perhiasannya,
kecuali kepada mahramnya, agar tidak mudah terpeleset dalam kema’siatan, namun
apabila perhiasan tersebut terlihat tanpa disengaja, maka Allah Maha Pengampun.
Pada masa jahiliyah orang-orang perempuan suka membuka
bagian leher, dada dan lengannya, bahkan sebagaian tubuhnya hanya sekedar
menyenangkan laki-laki hidung belang, dan orang-orang pria pun suka memandang
aurat wanita, sebagaiman masa kini, bahkan pada masa kini mereka lebih berani,
maka pantaslah jika masa kini disebut “jahiliyah modern”. Moral yang rendah
itulah yang menjadi sumber kejahatan, baik masa lampau maupun masa kini.
Untuk itulah Allah memerintahkan kepada kaum wanita
untuk menutup auratnya dengan sempurna, dan melarang kaum pria mengumbar
pandangannya untuk menjaga kejahatan yang lebih parah yang menimbulkan
kekacauan dalam masyarakat, maka pemberantasan pornografi dan pornoaksi, baik
di majalah-majalah, pentas seni maupun di sinetron perlu diintensifkan.
Mengapa Allah melarang memandang aurat lain jenis? Sebab
timbulnya kejahatan besar tidaklah mendadak, melainkan sedikit demi sedikit.
Mula-mula dari pandangan, kemudian senyuman, perkenalan dan seterusnya. Syauqi
dalam syairnya mengatakan:
نَظْرَةٌ فَابْتِشَامَةٌ فَسَلاَمٌ,
فَكَلاَمٌ فَمَوْعِدٌ فَلِقَاءٌ
“Pada
mulanya hanyalah pandangan, kemudian senyuman, kemudian salam, kemudian
percakapan, kemudian perjanjian, lalu kencan.”
Seorang sastrawan berkata:
وَمَا اْلحُبُّ إِلاَّ نَظْرَةٌ بَعْدَ
نَظْرَةٍ , تَزِيْدُ نُمُوًّا إِنْ تَزِدْهُ لَجَاجًا
“Cinta
hanyalah pandangan demi pandangan, jika terus bersemi maka menjadilah perbuatan
nyata”. (as-Sabuniy, 1971, Rawa’i’ul Bayan, II: 149)
Dalam tafsirnya, Safwatut Tafasir, as-Sabuniy mengutip
sebuah syair:
كَمْ نَظْرَةً فَتَكَتْ فِي قَلْبِ
صَاحِبِهَا , فَتْكَ السِّهَامُ بِلاَ قَوْسٍ وَلاَ وَتَرٍ
“Sering-sering
pandangan mata menyerang hati pemandangnya, bagaikan serangan anak panah tanpa
busur dan tali”. (as-Sabuniy, 1981, Safwatut Tafasir, X:16).
Al-Qasimiy
mengutip sebuah syair
كُلُّ اْلحَوَادِثِ مَبْدَأُهَا مِنَ
النَّظْرِ , وَمَعْظَمُ النَّارِ مِنْ مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ
“Semua
peristiwa permulaannya adalah dari pandangan, dan sebagian besar api bermula
dari percikan api kecil” . (al-Qasimy, 1978, XII:190)
Pandangan mata sangat besar peranannya dalam kejahatan,
maka pada ayat tersebut, perintah menahan pandangan disebutkan lebih dahulu
dari perintah menjaga farji.
Hikmah
menahan pandangan:
Al-Qasimiy mengutip pendapat al-Imam Ibnil Qayyim
sebagai berikut: Hikmah menahan pandangan antara lain ialah:
1.
Mentaati perintah Allah
yang menjadi pangkal kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di akherat,
sebab tiada yang lebih bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat kecuali
mentaati perintah-Nya, maka orang yang paling celaka baik di dunia maupun di
akhirat adalah orang yang membangkang terhadap perintah-Nya.
2.
Mencegah masuknya pengaruh
pandangan beracun ke dalam hati, sehingga selamat dari pembusukan.
3.
Mendekatkan diri kepada
Allah, sebab melepas pandangan akan mencerai beraikan hati dan menjauhkan diri
dari Allah, tiada yang paling berbahaya selain jauh dari Allah, yang
mengakibatkan tergelincir dalam kejahatan.
4.
Mengokohkan hati nurani dan
membahagiakannya, sebagaimana apabila mengumbar pandangan, akan melemahkan dan
menjadikannya susah.
5.
Menjadikan hati bercahaya,
sebagimana menjadikan hati dalam kegelapan apabila mengumbar pandangan, maka
ayat tersebut, Allah menjelaskan pada ayat berikutnya (ayat 35), bahwa Dia
menyinari langit dan bumi dengan sinar yang sangat indah dan terang benderang.
Allah menyinari hati orang-orang mu’min yang mentaati perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya, dan apabila hati telah bersinar, maka datanglah dari
berbagai penjuru kebaikan-kebaikan, kebahagiaan dan sebagainya yang sangat
bermanfaat.
6.
Diberi ketajaman firasat,
sehingga dapat membedakan antara orang yang jujur dan orang yang tidak jujur.
Ibnu Suja’ al-Kirmaniy mengatakan: Barangsiapa lahirnya selalu mengikuti sunnah
Rasul dan batinnya selalu mendekatkan diri kepada Allah, serta menahan
pandangannya dari hal-hal yang haram, mengekang hawa nafsunya dan membiasakan
makan yang halal, maka firasatnya tidak akan salah. Barangsiapa meninggalkan
sesuatu karena Allah, ia akan diberi ganti yang lebih baik, barangsiapa selalu
menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan Allah, ia akan diberi cahaya
pandangan hati yang tajam, dan dibukakan baginya pintu ilmu pengetahuan, iman,
ma’rifat serta firasat yang tepat dan benar, yang hanya diperoleh dengan
pandangan hati.
7.
Menanamkan rasa kemantapan,
keberanian dan keteguhan dalam hati. Allah memadukan antara kekuatan pandangan
hati dan hujjah. Hanya orang yang dapat meninggalkan hawa nafsunyalah yang
dapat memisahkan antara syaitan dan bayangannya. Allah telah menjanjikan
ketinggian martabat bagi orang yang mentaati-Nya, sebagimana ditegaskan dalam
firman-Nya:
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi martabatnya jika
kamu orang-orang yang beriman” (Ali Imran (3): 139).
8. Menutup pintu bagi syaitan, sehingga tidak dapat masuk dalam
hati, sebab masuknya syaitan kedalam hati lewat pandangan mata. (al-Qasimiy,
1978, XII:192)
Ayat 59 surat al-Ahzab (33), termasuk ayat-ayat Madaniyah,
sebab seluruh ayat dari surat al-Ahzab adalah Madaniyah. (al-Qasimiy, 1978,
XIII:221)
Adapun sabab nuzul ayat tersebut, menurut
riwayat Abi Salih ialah sebagai berikut: Ketika Rasulullah saw datang di
Madinah, jika istri beliau dan para wanita muslimah keluar malam untuk suatu
keperluan, sering diganggu oleh orang-orang laki-laki yang duduk dipinggir
jalan. Setelah dilaporkan kepada Rasulullah, maka turunlah ayat ini (al-Ahzab,
(33):59). (at-Tabariy, tt, Tafsir at-Tabariy, XXII:34).
Pada ayat sebelumnya, Allah menjelaskan bahwa
orang-orang yang menyakiti orang-orang mu’min dan mu’minat sebenarnya telah
melakukan dosa besar dan sangat tercela, maka pada ayat berikutnya, Allah
memerintahkan pada Nabi saw agar para isteri beliau dan para wanita muslimat
menutup aurat dengan sebaik-baiknya, supaya mudah dibedakan antara orang yang
terhormat dan orang yang tidak terhormat, untuk menjaga diri dari gangguan
laki-laki jahat yang sering mengganggu di pinggir jalan.
Pada permulaan masa Islam, di Madinah masih banyak
orang jahat yang suka mengganggu wanita, sebab para wanita pada waktu itu masih
selalu memakai pakaian harian sebagaimana pada masa jahiliyah, sehingga tidak
dapat dibedakan antara orang terhormat dan orang yang tidak terhormat.
Kadang-kadang mereka menggangu wanita muslimah dengan alasan tidak dapat
mengenalnya, dan menyangkanya sebagai wanita yang tidak terhormat, karena
itulah wanita muslimah diperintahkan memakai mode pakaian yang berbeda dengan
mode pakaian yang dipakai oleh wanita yang tidak terhormat. (al-Qasimiy, 1978,
XIII:4908).
Al-Qurtubiy dalam tafsirnya mengatakan, pakaian penutup
aurat hendaklah terbuat dari bahan yang tidak tembus pandang, agar warna kulit
tidak kelihatan, dan berbentuk longgar, agar bentuk badannya tidak tampak,
kecuali apabila sedang bersama suaminya, sebab pakaian tembus pandang dan
sempit, tidak memenuhi fungsinya sebagai penutup aurat, maka Rasulullah saw
pernah bersabda:
رب كاسية في الدنيا عارية في الأخرة
“Kadang-kadang
wanita berpakaian di dunia, tetapi telanjang di akhirat.” (al-Qurtubiy, tt,
al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, VI:5326).
Sekalipun ayat tersebut disampaikan dalam bentuk khabariyah
(berita), tetapi didalamnya terkandung makna perintah yang menunjukkan kepada wujub
(kewajiban). Menurut ilmu balaghah, bentuk khabariyah itu lebih baligh
(tegas dan tepat) daripada bentuk insya’iyah amr (perintah), maka
jelaslah bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi kaum muslimin dan
muslimat, bukan hanya keluarga Nabi saw, dan para wanita Madinah, sebab ayat
tersebut berlaku umum, sekalipun diturunkan karena sebab khusus.
Allah memerintahkan Nabi-Nya agar umat Islam semuanya
mentaati peraturan adab dan sopan santun Islam, petunjuknya yang mulia dan
peraturan-peraturannya yang bijaksana, untuk kebaikan bersama, baik untuk
kehidupan perseorangan maupun kehidupan bermasyarakat. Allah mewajibkan
orang-orang muslimah untuk menutup auratnya agar kehormatannya terjaga dari
pandangan yang menyakitkan, kata-kata yang menyengat, jiwa yang sakit dan niat
jahat laki-laki yang tidak berakhlak, sebagaimana ditegaskan dalam surat an-Nur
(24):31. Kewajiban menutup aurat bukanlah merupakan adat kebiasaan atau tradisi
Arab sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang. Islam mewajibkan menutup aurat
adalah bertujuan untuk memotong niat jahat para syaitan, sehingga mereka tidak
dapat menggoda hati para laki-laki dan para wanita. Itulah yang dimaksudkan
dengan firman-Nya: “Zalika azka lahum” (yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka). (an-Nur (24):30).
Batas-batas Aurat
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas aurat, karena perbedaan penafsiran terhadap ayat tentang aurat. Para ulama telah sepakat bahwa antara suami dan isteri tidak ada aurat, berdasarkan firman-Nya:
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“…Kecuali
terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya
mereka dalam hal itu tiada tercela”. ( al-Mu’minun (23): 6). (as-Ssabuniy,
1971, II: 154).
Maka yang dibahas disini adalah aurat lak-laki dan
perempuan terhadap orang lain.
1. Aurat Laki-laki Terhadap Laki-laki: Menurut jumhur
ulama, aurat laki-laki terhadap laki ialah antara pusat perut hingga lutut,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jurhud al-Aslamiy, ia berkata:
Rasulullah saw duduk diantara kita dan paha saya terbuka, kemudian beliau
bersabda:
أما
علمت أن النخذ عورة
“Ketahuilah bahwa paha adalah aurat”.
(ditahrijkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmiziy, dari Jurhud al-Aslamiy)
2. Aurat Perempuan Terhadap Perempuan: Jumhur ulama
berpendapat bahwa aurat perempuan terhadap perempuan adalah sama dengan aurat
laki-laki terhadap laki-laki.
3. Aurat Laki-laki Terhadap Perempuan: Jumhur ulama
berpendapat bahwa aurat laki-laki terhadap perempuan adalah dari pusat perut
hingga lutut, baik terhadap mahraam maupun bukan mahram. (as-Sabuniy, 1971,
II:153)
4. Aurat Perempuan Terhadap Laki-laki: Para ulama
berbeda pendapat tentang aurat perempuan terhadap laki-laki, dan diantara
pendapat-pendapat tersebut ada dua pendapat yang diikuti oleh banyak orang,
yaitu:
a. Asy-Syafi’iyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh
tubuh wanita adalah aurat, dengan alasan:
1). Firman Allah: Wala Yubdina Zinatahunna (dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya). (an-Nur (24): 31). Ayat tersebut
dengan tegasa melarang memaparkan perhiasannya. Mereka membagi zinah
(perhiasan) menjadi dua macam: Pertama zinah khalqiyyah (perhiasan yang
bereasal dari penciptaan Allah), seperti wajah, ia adalah asal keindahan dan
menjadi sumber fitnah. Kedua zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat
manusia), seperti baju, gelang dan pupur.
Ayat tersebut mengharamkan kepada wanita menampakkan
perhiasan secara mutlak, baik perhiasan khalqiyyah maupun perhiasan muktasabah,
maka haram bagi wanita menampakkan sebagian anggota badannya atau perhiasaannya
dihadapan orang laki-laki. Mereka mena’wilkan firman Allah: “Illa ma zahara
minha” (kecuali apa yang biasa tampak daripadanya), bahwa yang dimaksudkan
dengan ayat tersebut ialah: “menampakan tanpa sengaja”, seperti tersingkap
karena angin, baik wajah atau anggota badan lainnya, sehingga ma’na ayat
tersebut menjadi sebagai berikut: “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya
selam-lamanya”.
2). Hadits yang diriwaytakan oleh Ibnu Abbas ra, ia
menceritakan, bahwa Nabi saw memboncengkan al-Fadl ibnul-Abbas pada hari Nahr
dibelakangnya, dia adalah orang yang bagus rambutnya, dan berkulit putih.
Ketika itu datanglah seorang wanita minta fatwa kepada beliau, kemudian al-Fadl
melihatnya dan wanita itupun melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah saw
memalingkan wajah al-Fadl kearah lain… (ditahrijkan oleh al-Bukhari, dari Ibni
Abbas, bab Hajji Wada’)
3). Apabila keharaman meliha rambut dan kaki telah
disepakati oleh para ulama, maka keharaman melihat wajah adalah lebih pantas
disepakati, sebab wajah adalah asal keindahan dan juga sumber fitnah, maka
bahya memandang wajah adalah lebih besar.
b. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat, bahwa
seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua tapak tangan, dengan
alasan:
1). Bahwa firman Allah SWT: “Wa la yubdiha
zinatahunna illa ma zahara minha” (dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang biasa tampak daripadanya) (an-Nur (24): 31), ayat
tersebut mengecualiakan apa yang biasa tampak, yang dimaksudkannya ialah wajah
dan dua tapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan
tabi’in. sa’id bin Jbir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan “apa
yang baisa tampak” adalah wajah dan dua tapak tangan, demikian pula ‘Ata’.
(at-Tabariy, Tafsir at-Tabariy, XVIII: 118).
2) mereka mengautkan pendapat tersebut dengan hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah yang bunyi teksnya sebagai berikut:
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ
دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا
ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ
لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ
وَكَفَّيْهِ *
“Bahwa Asma’ binti Abi Bakr masuk ketempat Rasulullah saw
dengan memakai baju yang tipis, kemudian Rasulullah saw berpaling daripadanya
dan bersabda: “Hai Asma’ seseungguhnya apabila wanita itu sudah sampai masa
haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini, dan beliau
menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya.” (ditahrijkan oleh Abu Dawud,
dari ‘Aisyah).
3). Mereka mengatakan, diantara dalil yang memperkuat
pendapat bahwa wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam
melakukan salat dan ihram, wanita harus membuka wajah dan dua tapak tangannya.
Senadainya kedua anggota badan tersebut termasu aurat, niscayatidak
diperbolehkan membuka kedaunya pada waktu mengerjakan salat dan ihram, sebab
menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah salat atau ihram seseorang jika
terbuka auratnya. (as-Sabuniy, 1971, II: 155).
Demkianlah pendapat para imam tentang aurat wanita:
asy-Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota badan adalah
aurat, termasuk wajah dan kedau tapak tangan. Adapun imama Malik dan imaam Abu
Hanifah berpendapat bahwa wajah dan kedua tapak tangan tidak termasuk aurat.
Al-Qasimiy mengutip pendapat as-Siyutiy dalam al-Iklil:
Ibnu Abbas, sebagimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, berpendapat bahwa
wajah dan dua tapak tangan adalah bukan aurat. Pendapat inilah yang dijadikan
alasan bagi orang yang memperbolehkan melihat wajah da tapak tangan wanita
selama tidak menimbulkan fitnah. (al-Qasimiy, 1978, XII: 195).
Jika dihubungkan dengan sebab nuzul ayat 30-31 surat
an-Nur dan ayat 50 surat al-Ahzab, perintah menutup seluruh tubuh bagi para
wanita, karena kekhawatiran yang mendalam akan timbulnya fitnah, karena di
Madinahpada waktu itu masih banyak orang fasik yang beradat kebiasaan
jahiliyah, dan suka mengganggu para wanita. Kekhawatiran Rasulullahh saw pada
waktu itu sangat masuk akal, karena beliau sangat paham terhadap adat istiadat
jahiliyah.
Kekhawatiran akan adanya fitnah pada masa kinipun masih
menghantui kita, apalagi pengaruh budaya dari berbagia bangsa didunia ini yang
tidak mengenal norma-norma islamiyah adalah sangat besar.
Kami berpendapat
bahwa alasan bagi pendapat bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali
wajah dan tapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat tersebut menurut kami
lebih pas bagi muslimah Indonesia. sekalipun demikian kami berpendapat bahwa
menutup wajah dan tapak tangan tidaklah terlarang, bahkan merupakan perbuatan
kehati-hatian yang terpuji, dan menutup aurat dengan libasut-taqwa (pakaian
taqwa) adalah paling baik.
Posting Komentar