MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA- "Tuhan telah mati, Gott ist tot," ujar Friedrich Nietzsche. Pemikir Jerman itu bahkan bersuara lantang, "Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya." Di bagian lain dalam karya ternamanya, 'The Madman', dia menulis, "Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi Tuhan-Tuhan?"
Sebuah kegilaan pemikiran khas kaum humanis-sekuler di Eropa Barat era Renasains. Pemikiran Nietzsche adalah puncak dari mata rantai ateisme dalam sejarah modern Barat sejak abad ke-14 yang diawali dari Italia terus merambah ke Jerman, Prancis, dan Inggris.

Friedrich Hegel dalam nada lain menyatakan, "Bagi suatu bentuk pengalaman, Tuhan sudah mati." Sebelumnya, Heinrich Heine menyatakan tentang "Tuhan yang sedang sekarat." Sementara, Ludwig Feuerbach dengan nyaring mengungkapkan, Tuhan hanyalah gambar yang dibikin manusia.

Gerakan pemikiran tentang "kematian Tuhan" melahirkan apa yang disebut dalam tradisi sosiologi agama sebagai 'teotanalogi'. Tokoh penggerak teologi ini ialah para teolog Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton, dan Thomas JJ Altizer, serta rabi Yahudi, Richard Rubenstein. Mereka lahir dalam kultur "santri" Kristen dan Yahudi, yang berontak terhadap paham agama abad tengah yang serbateosentristik.

Pemikiran anti-Tuhan itu merembet dan menjadi satu paket dengan agnotisme, gerakan antiagama. Bagi umat beragama, kalimat-kalimatnyinyir tersebut tentu sangat menyakitkan dan sebagai genderang perang melawan agama.

Para pemikir garang itu sebenarnya tidak betul-betul menyatakan Tuhan mati secara fisik dan eksistensial, tetapi ingin melukiskan berakhirnya teosentrisme dan konservatisme agama pada era modern berwawasan humanisme-sekuler. Inilah sejarah peradaban Barat yang bergerak ekstrem dari satu kutub ke kutub lain dalam oposisi biner yang saling bermusuhan.

Paham agama yang menegaskan kemanusiaan hingga ke sudut terjauh. Sebaliknya pemikiran filsafat dan nalar modern yang meminggirkan agama ke wilayah tersempit.

Sumber nilai berbangsa Indonesia sangat beruntung.

Bangsa dan negeri ini memiliki sejarah yang baik tentang agama. Awal mulanya agama Hindu yang dominan, selain Buddha, dan kepercayaan setempat. Kemudian datang Islam sekitar rentang abad ke-7 dan ke-13, yang menjadi agama dengan pemeluk terbesar.

Bersamaan dengan kehadiran kolonial, bahkan hadir Katolik dan Kristen, yang menyatu menjadi agama resmi bersama Islam, Hindu, dan Buddha. Belakangan diakui pula Khonghucu.

Keberagamaan dalam keragaman menjadi karakter bangsa Indonesia yang majemuk. Satu sama lain dalam sejarah panjang yang sarat dinamika saling membangun kebersamaan dalam spirit pluralisme yang damai dan toleran. Di sana-sini terjadi gesekan dan konflik, tapi secara umum terbangun suasana pluralisme keagamaan yang koeksistensi positif.

Anthony Giddens menyebutnya sebagai fenomena cultural pluralism, suatu kemajemukan yang terbentuk oleh proses kebudayaan yang mencair. Peran Islam dalam pluralisme keagamaan yang damai dan toleran di negeri ini sangatlah besar. Antropolog ternama Indonesia, Prof Dr Koentjaraningrat, dan sejarawan Prof Dr Sartono Kartodirdjo dengan tegas menunjuk Islam sebagai faktor penting terbentuknya integrasi nasional.

Tanpa kebesaran jiwa umat Islam dalam peristiwa Piagam Jakarta 18 Agustus 1945, bahkan Republik Indonesia ini, tidak akan hadir utuh dan awet seperti sekarang ini. Peran tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo dan Mr Kasman Singodimedjo dalam momen sejarah yang menentukan republik ini, sangatlah penting dan besar.

Para pendiri negara dari seluruh golongan agama dan beragam latar belakang sungguh arif ketika meletakkan agama sebagai faktor penting dan utama sebagaimana tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh Pasal 29. Perumusan Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa makin menguatkan posisi agama dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Agama tidak terpisahkan dari denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara di republik ini.

Maka, menjadi naif dan sangat mencederai umat beragama manakala ada yang merendahkan, melecehkan, dan mengerdilkan ajaran agama atas nama apa pun. Sikap gegabah seperti itu bukan hanya melukai umat beragama ke jantung terdalam dari sebuah keyakinan, melainkan juga dalam konteks kenegaraan sebenarnya merupakan cermin penodaan terhadap spirit kebangsaan-kenegaraan yang diletakkan para pendiri bangsa ini. Hari ini dan ke depan, siapa pun, tidak boleh ugal-ugalan dalam berbangsa dan bernegara, lebih-lebih tatkala menyentuh wilayah agama.

Mencerahkan kehidupan Bangsa Indonesia memasuki fase krusial pasca-reformasi.

Liberalisasi politik yang bersenyawa dengan liberalisasi ekonomi dan budaya telah menggiring kehidupan kebangsaan menjadi serba bebas dan sekuler. Pandangan tentang demokrasi dan hak asasi manusia yang serba liberal sampai batas tertentu mulai mengetepikan nilai-nilai agama, terutama di ruang publik dan negara. Rasa hormat terhadap idiom-idiom keagamaan pun mulai luruh sehingga kelancangan mulai menyeruak.

Sementara, pendewaan terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan makin kencang seolah mekar menjadi agama baru. Karena itu, kini diperlukan refleksi baru dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di republik ini dengan menempatkan agama sebagai sumber nilai yang penting dan utama.

Bagi umat beragama, tentu tantangan sekularisasi dan liberalisasi itu penting untuk dijadikan momentum muhasabah. Ke dalam, bagaimana membentuk insan beragama agar makin kokoh iman dan pemahamannya atas nilai-nilai luhur agama yang dipeluknya, dengan mengembangkan toleransi yang tulus terhadap pemeluk agama berbeda dalam persaudaraan kemanusiaan yang utama. Ke luar, bagaimana menjadikan agama sebagai rahmat bagi semesta sehingga setiap anak Adam di muka bumi ini merasakan kebajikan terbaik dari kehadiran umat beragama.

Pendek kata, agama niscaya menjadi sumber pencerahan hidup seluruh umat manusia, termasuk mencerahkan para pemeluk agama itu sendiri. Agama dan umat beragama harus mampu menciptakan peradaban utama dalam suasana hidup aman, damai, makmur, beradab, dan berkemajuan. Agama tidak berhenti di garis batas normatif dan dogma belaka, yang indah ketika bicara iman dan pemahaman, tapi miskin amal dan keteladanan yang cerah-mencerahkan. Pemeluk agama bahkan harus menjadi penyelamat alam, bukan ikut merusaknya.

Beragamalah secara autentik agar mencerahkan kehidupan. Setiap orang beriman harus menjamin kata sejalan tindakan. Ketika berpolitik dan mengemban mandat negara berperangai jujur, amanah, dan berkeadaban di samping sukses membawa kemajuan. Tatkala berniaga disertai keluhuran moral dan tidak memeras sesama serta merusak sendi-sendi kehidupan.

Berbudaya pun mesti dengan keadaban mulia dan tidak berperangai serba boleh. Agama harus menjadi pembeda dalam menampilkan perilaku uswah hasanahyang melahirkan peradaban mulia. Itulah beragama yang mencerahkan. (adam)
sumber: Harian Republika

Posting Komentar