PEMBINAAN KEAGAMAAN
BAGI KELOMPOK BERKEBUTUHAN KHUSUS
MAJELIS TABLIGH PP MUHAMMADIYAH
PERIODE 2015 – 2020 

1.        Pendahuluan
              Kelompok masyarakat berkebutuhan khusus (disabled people) memerlukan perhatian serius dari pihak lain agar mereka dapat memenuhi hak dan kewajibannya dengan baik. Akan tetapi, perhatian yang diperoleh kelompok ini belum sepenuhnya memenuhi harapan, seperti akses pekerjaan (ekonomi), akses pendidikan dan akses informasi keagamaan, termasuk tempat ibadah (masjid dan musola) yang belum ramah terhadap mereka.
              Terkait dengan pendidikan dan pembinaan keagamaan kelompok ini, ada sejumlah persoalan yang perlu segera diselesaikan. Pertama, jumlah institusi pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren yang menyediakan fasilitas bagi kelompok berkebutuhan khusus juga masih sedikit. Kedua, Referensi keagamaan berupa buku atau tutorial keagamaan yang dirancang khusus bagi penyandang cacat masih sulit didapatkan. Ketiga, ketersediaan pengajar agama sebagai konselor dan pembina kelompok disabilitas belum sebanding dengan jumlah penyandang cacat.
              Sementara ini, data penyandang disabilitas menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sekitar 11-13% dari total penduduk Indonesia, sedangkan data dari kementrian kesehatan adalah 1.6% dari keseluruhan populasi Indonesia. Meskipun kedua data belum sinkron (Fernandez, 2015), angka dapat dijadikan referensi bahwa penyandang disabilitas adalah minoritas. Dalam realitas sosial, kelompok minoritas ini seringkali mendapat stigma negatif dan perlakuan diskriminatif. Oleh karena itu, Muhammadiyah harus mengambil peran-peran strategis dalam pemberdayaan kelompok minoritas tersebut, khususnya Majelis Tabligh berkesempatan untuk berkreasi dalam pembinaan keagamaan para penyandang disabilitas. 
           
2.        Apa itu Disabilitas?
              Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB, disabilitas dapat dimaknai “ketidakmampuan melaksanakan suatu kegiatan/aktivitas tertentu layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis” (Anak, 2014). Oleh karena itu, penyandang disabilitas—dahulu disebut penyandang cacat tetapi setelah terbit UU No. 19 Tahun 2011 istilah cacat diganti dengan disabilitas—adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka waktu lama sehingga ketika berhadapan dengan berbagai hambatan mereka sulit untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesamaan hak (Anak, 2014).
              Para penyandang disabilitas baik yang hidup di negara maju atau berkembang mengalami lima persoalan besar. Pertama adalah kesehatan buruk. Kedua adalah tingkat partisipasi dalam pendidikan, pelatihan dan pekerjaan relative rendah. Ketiga adalah penerimaan masyarakat rendah. Keempat, akses terhadap barang, jasa dan fasilitas minim. Kelima adalah mereka masih mengalami berbagai macam diskriminasi(Australia, 2011). Lima persoalan ini membuat kehidupan kelompok disabilitas semakin sulit. Persoalan keenam adalah kebutuhan spiritual mereka kurang tersentuh.
              Penyebab disabilitas menurut Kementerian Sosial Tahun 2005 ada tiga macam, yaitu:
a.    Disabilitas akibat kecelakaan seperti korban peperangan, kerusuhan, kecelakaan kerja/industri, kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan lainnya.
b.    Disabilitas sejak lahir atau dalam kandungan, termasuk disabilitas karena penyakit keturunan.
c.    Disabilitasakibat penyakit (polio, penyakit kelamin, TBC, kusta, diabetes, kaki gajah dll) (Anak, 2014).

3.        Pendekatan dalamPembinaanKeagamaan Kelompok Disabilitas
              Pendekatanterhadap kelompok disabilitas yang dapat dilakukan oleh organisasi non-pemerintah terutama Majelis Tabligh dalam pengembangan kualitas keagamaan adalah:
a.    Keterlibatan penyandang disabilitas. Respon kelompok disabilitas terhadap program yang didesain sangat diperlukan dalam bentuk dukungan dan partisipasi.
b.    Dukungan komunitas. Program hendaknya mendorong masyarakat lebih peduli dan menghilangkan sikap negatif terhadap kelompok disabilitas.
c.    Pendekatan universal. Dalam pendekatan ini semua produk dan jasa persyarikatan diupayakan dapat diakses secara lebih luas termasuk kelompok disabilitas.
d.   Berorientasi pada kategori disabilitas. Program yang dibuat dapat memenuhi kepentingan dan harapan semua kategori disabilitas.
e.    Kemandirian. Produk dan pelayanan yang dibuat dapat secara mandiri digunakan oleh kelompok penyandang disabilitas.
f.     Pendekatan interkoneksi. Produk atau program yang dibuat dapat dikerjasamakan dengan departmen lain dalam satu organisasi atau pihak eksternal.
              Dalam konteks pengelolaan program pembinaan keagamaan bagi kelompok disabilitas, Muhammadiyah memiliki potensi memadai. Majelis Tabligh berada di semua wilayah, daerah dan cabang seluruh Indonesia yang dapat dikoordinasi dengan mudah dalam implementasi program. Muhammadiyah memiliki banyak rumah-rumah sakit, sekolah dan perguruan tinggi yang tentu dapat bekerjasama dengan Majelis Tabligh dalam pengembangan program. Disamping itu, ‘Aisyiyah yang memiliki Majelis Tabligh, Balai Kesehatan dan lembaga pendidikan telah berpengalaman dalam program pemberdayaan kelompok disabilitas. Majelis Tabligh tentunya juga dapat bekerjasama dengan majelis lain yang terkait dalam pembinaan kelompok disabilitas, misalnya: MPM dan Majelis Tarjih.
              Oleh karena itu, alternatif kegiatan yang dapat dilakukan oleh Majelis Tabligh untuk kelompok tersebut adalah:
1.        Bekerjasama dengan Majelis Tarjih untuk menyusun buku tentang fikih disabilitas. Selama ini, buku-buku terkait belum banyak ditulis.
2.        Memproduksi referensi seperti buku dan tutorial keagamaan yang dapat diakses oleh semua kelompok disabilitas. Konsekuensinya, buku dapat dicetak dengan huruf braille dan tutorial keagamaan dengan menggunakan bahasa isyarat.
3.        Melatih guru agama di sekolah Muhammadiyah dan menyiapkan dai agar dapat berinteraksi dengan kelompok disabilitas terutama sebagai konselor. Bekerjasama dengan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah agar memberikan akses terhadap kelompok disabilitas untuk memperoleh kesempatan bersekolah. Demikian pula, melatih bina rohani di rumah-rumah sakit milik persyarikatan agar mampu berinteraksi dengan pasien disabilitas.
4.        Membentuk komunitas-komunitas pengajian bagi penyandang disabilitas.
5.        Membangun masjid percontohan yang ramah dengan kelompok disabilitas dan pusat disabilitas di Perguruan Tinggi Muhammadiyah.
              Sebagai perbandingan, The Christian Institute on Disability telah melakukan tiga bentuk kegiatan: 1) Pendidikan, 2) Diskursus Kebijakan Publik dan 3) Pembekalan. Pertama, institut ini mendidik para mahasiswa untuk menjadi misionaris termasuk mereka yang menyandang disabilitas. Mereka bersekolah di universitas bergengsi di Amerika. Kedua, institut ini mendorong adanya kajian terkait dengan kebijakan publik dalam bidang kesehatan dan disabilitas berdasarkan perspektif agama Kristen. Yang terakhir, institut ini mefasilitasi bagi mahasiswa untuk magang agar mampu menjadi pemimpin dari kelompok disabilitas yang dapat menyebarkan ajaran gereja.

4.        Pelayanan Sosial Kaum Difable
Undang-Undang Nomor. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Pasal 6 dijelaskan, bahwa setiap penyandang cacat berhak memperoleh : a) pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; b) pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dankemampuannya; c) perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; d) aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; e) rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; dan f) hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, penyandang cacat termasuk cacat tubuh memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama seperti warga masyarakat lainnya.
Sementara itu dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4/1997 disebutkan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban memenuhi hak-hak penyandang cacat seperti pendidikan dan pekerjaan yang layak, rehabilitasi, bantuan social dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak penyandang cacat maka diperlukan pelayanan sosial. Pelayanan sosial bertujuan membantu upaya resosialisasi penyandang cacat baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka. Pemberian pelayanan sosial bermuara pada pemenuhan kebutuhan fisik yaitu makan, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan dan akses pekerjaan.
Pemenuhan kebutuhan psikis berupa perhatian dan kasih sayang baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat. Pemenuhan kebutuhan sosial berupa penerimaan dan penghargaan dari keluarga dan masyarakat. Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang bersifat umum artinya setiap orang mempunyai kebutuhan yang sama. Penyandang cacat sebagai orang yang mempunyai keterbatasanketerbatasan fisik mempunyai kebutuhan yang bersifat khusus yaitu kebutuhan aksesibilitas dan mobilitas seperti jalan khusus untuk kursi roda, toilet khusus pengguna kursi roda, ramp (pegangan), alat bantu orthese dan prothese.
Menurut Maslow pada dasarnya manusia mempunyai lima kebutuhan dasar yang membentuk tingkatan-tingkatan atau hirarki yang disusun berdasarkan kebutuhan yang paling penting hingga yang tidak penting dan dari yang mudah hingga yang sulit untuk dicapai atau didapat. Kebutuhan tersebut adalah: a) Kebutuhan fisiologis yaitu sandang, pangan, papan dan kebutuhan biologis; b) Kebutuhan keamanan dan keselamatan yaitu bebas dari penjajahan, bebas dari ancaman, bebas dari rasa sakit, dan bebas dari teror; c) Kebutuhan sosial yaitu memiliki teman, memiliki keluarga, dan kebutuhan cinta dari lawan jenis; d) Kebutuhan penghargaan, berupa pujian, piagam, tanda jasa, dan hadiah; dan e) Kebutuhan aktualisasi diri yaitu kebutuhan dan keinginan untuk bertindak sesuka hati sesuai dengan bakat dan minatnya.
Selanjutnya kebutuhan pelayanan social bagi penyandang cacat tubuh sebagai individu yang hidup dalam keluarga dan masyarakat meliputi:
a.    Kebutuhan penyandang cacat tubuh sebagai individu
Penyandang cacat tubuh hidup dalam masyarakat yang kompleks, memerlukan suatu lingkungan aman, yang memberikan kasih sayang, pengakuan dan penerimaan. Meskipun mengalami hambatan, mereka masih mempunyai kemampuan kemampuan yang dapat dikembangkan terutama dalam perkembangan emosional, dimana emosi merupakan kebutuhan yang sama dengan orang yang tidak cacat.
b.    Kebutuhan penyandang cacat tubuh sebagai makhluk social
Penyandang cacat sejak lahir adalah makhluk sosial, kelangsungan hidup tergantung pada orang disekelilingnya, kebutuhan rasa aman dan kasih saying merupakan hal utama. Hal ini dialami oleh penyandang cacat tubuh dan kebutuhan ini makin lama makin bertambah seiring dengan perkembangan usia anak-anak dan membutuhkan teman bermain.
Penyandang cacat membutuhkan pengakuan, dihargai dan diterima oleh teman-temannya dan timbul keinginan akan status sosial yang layak dalam kelompok/masyarakat. Apabila perkembangan ini mengalami hambatan akibat kecacatannya maka akan berpengaruh kepada perkembangan kejiwaan anak.
c.    Kebutuhan penyandang cacat tubuh dalam keluarga
Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai tempat berlindung yang aman bagi anggotanya. Perlakuan keluarga yang wajar kepada anggota keluarga yang cacat akan membuat mereka merasa aman dan nyaman. Akan tetapi banyak keluarga yang tidak dapat menerima anggota keluarga yang cacat karena ketidaktahuan dan persepsi yang salah. Oleh karena itu diperlukan sosialisasi guna penyadaran bagi keluarga agar dapat menerima penyandang cacat dan memperlakukan secara wajar.
Hadirnya persatuan orangtua keluarga penyandang cacat sebagai wadah sosialisasi sangat penting guna peningkatan persepsi yang benar sehingga dapat dilakukan penanganan penyandang cacat secara optimal agar penyandang cacat dapat mandiri.
d.   Kebutuhan penyandang cacat tubuh dalam masyarakat
Perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa penyandang cacat tubuh mempunyai kesamaan kesempatan dengan melibatkan penyandang cacat tubuh dalam organisasi kemasyarakatan. Masyarakat perlu diberikan bimbingan agar muncul kepedulian, partisipasi dan tanggung jawab dalam penanganan penyandang cacat.
e.    Kebutuhan Pelayanan umum
Fasilitas untuk penyandang cacat di tempat umum hampir tidak ada, seperti jalur khusus, toilet dan boks telepon bagi pengguna kursi roda. (Departemen Sosial, 2008)

5.        Orientasi Pembinaan Keagamaan
Orientasi pembinaan keagamaan bagi kau difable diarahkan untuk memberikan kemudahan dalam memeunhi kebutuhan hidupnya, khususnya aspek spiritualnya. Pembinaan keagamaan bagi kaum difable juga diarahkan pada peningkatan pemahaman dan keterampilan menjalani ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Adapun gambaran orientasi pembinaan keagamaan itu dapat dilihat dalam tabel berikut:
No
Bidang
Orientasi
1
Aqidah
Pembinaan aqidah diarahkan pada pemahaman aqidah yang salimah, peneguhan tauhid yang hanif, dan penumbuhan sikap hidup yang berdasar tauhid.
Kajian yang dikembangkan untuk bidang ini di antaranya:
a.    Internalisasi doktrin tauhid 
b.    Menanamkan nilai-nilai asmaul husna
c.    Penanaman zauq al-aqidah
d.   Pemahaman mengenai syirik dan bahayanya
e.    Menumbuhkan sikap taat, tunduk dan patuh kepada Allah
f.     Menumbuhkan sikap ridla, tawakkal, sabar, ikhlas dan husnudzan kepada Allah
g.    Menumbuhkan mahabbatullah
h.    Menumbuhkan rasa syukur
2
Akhlak
Pembinaan aqidah diarahkan pada pemahaman nilai-nilai akhlak yang berdasar al-Qur’an dan hadits sehingga mampu memberikan panduan bagi terwujud kehidupan dalam level individu, sosial dan masyarakat.
Kajian yang dikembangkan untuk bidang ini di antaranya:
a.    Menumbuhkan sikap saling percaya
b.    Menumbuhkan sikap saling mengingatkan
c.    Menumbuhkan sikap untuk selalu berkomunikasi dengan Allah melalui dzikir dan do’a
d.   Menumbuhkan sikap berbuat baik pada orang tua, kerabat dan masyarakat
e.    Menumbuhkan sikap saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa
f.     Menuntunkan akhlak berkomunikasi
g.    Pembiasaan kalimat thayyibah dan doa sehari-hari
h.    Menuntunkan akhlak pergaulan sehari-hari, terutama dengan lawan jenis
3
Ibadah
Pembinaan ibadah diarahkan pada pemahaman dan  keterampilan ibadah yang berdasar al-Qur’an dan as-Sunnah sesuai dengan kondisi yang mereka alami.
Kajian yan dikembangkan untuk bidang ini adalah:
a.    Tata cara Thaharah
b.    Tata cara Sholat
c.    Tata cara Puasa
d.   Tata cara Haji dan Umroh
e.    Hukum Zakat, Infaq, dan shodaqoh
f.     Tata cara zikir dan do’a
4
Muamalah
Pembinaan bidang muamalah diarahkan pada pemahaman, pengembangan dan pengamalan kegiatan muamalah sesuai ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kajian bidang ini antara lain:
a.    Bekerja dalam Islam
b.    Bisnis dalam Islam
c.    Perjanjian kerjasama dalam Islam
d.   Hutang Piutangdalam Islam
g.    Tata cara pernikahan
e.    Wasiat dan warisan
f.     dll

            Orientasi pembinaan ini selanjutnya dikembangkan menjadi bahan kajian yang tersusun dalam kurikulum dakwah yang terencana, terarah dan sistematis. Untuk melengkapi dapat disusun pula modul-modul yang bisa diakses oleh kaum difabel.

6.        Penutup
              Kelompok disabilitas adalah minoritas yang termarjinalkan. Oleh karena itu, kebijakan yang memberdayakan kelompok ini sangat penting dibuat. Semua elemen masyarakat berkewajiban membantu kelompok disabilitas agar dapat hidup tanpa diskriminasi, termasuk akses terhadap ajaran keagamaan. Muhammadiyah, khususnya Majelis Tabligh terpanggil untuk membina kelompok ini, karena mereka juga hamba Allah yang mempunyai hak untuk belajar Islam dan mendapatkan kebenaran ajarannya. 

Materi dalam bentuk powerpoint dapat diunduh di

Posting Komentar