قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَجُوزُ شَهَادَةُ خَائِنٍ وَلاَ خَائِنَةٍ وَلاَ ذِي غَمْرٍ عَلَى أَخِيهِ وَلاَ تَجُوزُ شَهَادَةُ الْقَانِعِ لِأَهْلِ الْبَيْتِ وَتَجُوزُ شَهَادَتُهُ لِغَيْرِهِمْ وَالْقَانِعُ الَّذِي يُنْفِقُ عَلَيْهِ أَهْلُ الْبَيْتِ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُوْ دَاوُدُ وَقَالَ: شَهَادَةُ الْخَاِئنِ وَالْخَائِنَةِ إِلَى آخِرِهِ وَلَمْ يَذْكُرُ تَفْسِيْرَ الْقَانِعِ
Rasulullah Saw bersabda:  tidak diterima kesaksian seseorang yang berkhianat, baik pria   maupun  wanita, tidak boleh juga diterima kesaksian orang yang menyakiti saudaranya (dendam),  juga tidak diterima kesaksian orang yang meminta-minta untuk (mencukupi) keluarga rumah, yaitu orang yang diberi nafkah oleh keluarga rumah”. (HR. Ahmad dan Abu Daud, tetapi Abu Daud dalam riwayatnya itu menyebutkan kata-kata “kesaksian orang yang berkhianat, laki-laki maupun perempuan dst, tanpa menyebut  tafsir Al-Qoni’.

Hadits di atas menjelaskan pada umat manusia, terutama yang beragama Islam  untuk  senantiasa  bersikap adil dan bijaksana dalam memutuskan segala sesuatu. Oleh karenanya, pengambilan keputusan harus berdasarkan fakta-fakta dan alasan yang bisa  dipertanggung jawabkan. Dalam kaitan ini, hal yang  terpenting untuk dijadikan sebagai  bagian dari proses pengambilan keputusan adalah masalah saksi. Sehingga sangat lazim kalau saksi dijadikan sebagai salah satu syarat untuk mengambil sebuah keputusan dalam  berbagai persoalan terkait dengan pelanggaran, (terutama pelanggaran terhadap agama).
Saksi sendiri dibedakan berdasarkan masing-masing kasus. Saksi tentang perzinaan misalnya, sejumlah empat orang saksi (QS. Annisa’: 15), jumlah ini berbeda dengan saksi bagi pencurian, dan juga kasus-kasus yang lain. Lebih dari sekedar itu, karena saksi merupakan faktor terpenting dalam pengambilan keputusan, maka tidak semua orang bisa dijadikan saksi, perlu ada kriteria -kriteria diterima saksi.
Melalui hadits di atas dijelaskan, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang tidak bisa diterima kesaksiannya. Yaitu: pengkhianat, baik pria maupun wanita, orang  yang menyakiti saudaranya, orang yang mencukupkan dirinya untuk keluarga rumah, yaitu orang yang diberi nafkah oleh keluarga  sebuah rumah”.
Sepintas akan timbul pertanyaan, mengapa kriteria-kriteria di atas menyebabkan orang tidak bisa diterima persaksiannya.
Pertama, pengkhianat, baik laki-laki maupun perempuan. Khianat yang dimaksud ini menurut Abu Ubaid adalah khianat yang berkenaan dengan hak-hak Allah dan juga hak-hak manusia. Sementara yang dibutuhkan dari seorang saksi atas persoalan yang ada adalah penjelasan tentang peristiwa yang terjadi secara benar dan valid. Kalau yang menjadi sumber penjelasan tidak bisa dipercaya, lantas bagaimana dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Ketidakjelasan ini akan berdampak pada pengambilan keputusan yang  kurang –untuk tidak mengatakan tidak—bijaksana bahkan salah sama sekali.
Sebagai satu alasan lagi mengapa persaksiannya tidak bisa diterima adalah karena orang yang demikian ini sudah terkategori sebagai orang munafiq. Sebagaimana dalam  hadits nabi:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَاحَدَثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
Ciri-ciri orang munafik ada tiga: apabila berkata ia bohong, apabila berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia khianat. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, sebuah keputusan itu harus diambil dari fakta yang sebenarnya terjadi, dan yang mengambil keputusan juga harus bersikap netral tanpa berpihak satu dengan yang lain sekaligus dari saksi yang netral juga, dengan demikian keputusan diharapkan bisa diambil secara baik dan bijaksana. Hanya saja bagi orang yang pernah disakiti oleh sseseorang itu memiliki kecenderungan yang besar untuk membalas (dendam), hal ini berdampak pada ketidak-obyektifan seseorang terhadap suatu perkara, bahkan dijadikan    kesempatan untuk membalasnya. Sehingga wajar  Nabi pernah   membrikan peringatan :

لاَيَقْضِيَنَّ حَاكِمٌ بَيْنَ اثْنَيْنِ وَهُوَ غَضْبَانُ

“Seorang hakim jangan sekali-kali memutuskan perkara dua orang dalam keadaan marah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Karena itulah sehingga sangat lazim kalau saksi yang demikian ini tidak bisa diterima. Akan tetapi Abu Hayyan pernah mengatakan bahwa permusuhan demi membela agama tidalah merupakan penghalang bagi diterimanya sebuah persaksian.
Ketiga, orang yang mencukupi kebutuhan rumahnya (pelayan rumah tangga). Orang yang mencukupi kebutuhan rumah tangga bagi tuannya itu besar kemungkinan persaksiannya untuk kepentingan pribadi. Seorang pelayan seringkali enggan untuk menunjukkan fakta riil yang terjadi ketika tuannya melakukan sebuah kesalahan --dengan  alasan takut menjelekkan nama baik dan lain sebagainya, apalagi posisi dirinya cukup rendah dalam pandangan tuannya. Kelemahan dan ketidakberdayaan pelayan inilah yang membuat persaksiannya itu tidak diterima.
Ketiga faktor di atas menyebabkan seorang hakim (dalam pengambilan keputusan) tidak bisa berlaku obyektif. Sehingga persaksian dari mereka ini tidak bisa diterima.

Kesimpulan

Pada dasarnya setiap manusia ingin diperlakukan olah manusia yang lain dengan  adil, tanpa memandang posisi maupun status di masing-masing. Begitu pula dalam menyelesaikan suatu perkara, dalam hal ini yang berperan adalah Hakim. Hanya saja hakim adalah manusia biasa memiliki keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Karena itulah dibutuhkan saksi yang berfungsi membantu menjelaskan duduk perkara secara benar. Supaya persaksiannya itu dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka tidak sembarang orang bisa diterima persaksiannya, melainkan mereka yang telah memenuhi syarat sebagaimana di atas.

Posting Komentar